Kalau kau adalah mahasiswa farmasi di universitas manapun di Indonesia, pastilah kau akan bosan dan jenuh dengan dua huruf itu, dua huruf yang selalu didengung-dengungkan para dosen farmasi, dua huruf yang selalu terletak anggun di lab, dua huruf yang selalu mengakhiri kutipan laporan praktikum farmasetika.
FI, dua huruf yang kadang membuatmu jengkel akannya karena isinya monoton. Dua huruf yang membuat kosan penuh karena volumenya yang besar. Dua huruf yang suatu ketika kau bermimpi buruk dikejar maling, dua huruf itu adalah benda pertama yang kau raih untuk menimpuk si maling itu. “Buugh..” begitu kira-kira bunyinya.
Dua huruf yang awalnya kau tak pernah duga bahwa ia akan menjadi bagian yang paling penting dari inti kuliah. Dua huruf yang terlihat usang jadul tak terabaikan dan beratnya membuat tas cantik tiba-tiba reyot. Dua huruf yang berisi huruf-huruf kecil yang membosankan dan bahasanya sangat tak beralur novel.
Dua huruf yang ternyata penting. Dua huruf yang ternyata untuk menyusun huruf-huruf itu dibutuhkan peluh keringat para peneliti dunia, milyaran pelarut organik, jutaan bakteri, tak hingga jumlahnya atom karbon-hidrogen-nitrogen-semua atom. Dua huruf yang dosen-dosenmulah yang menerjemahkan peradaban pengobatan dari cina hingga amerika tersatukan kedalam dua huruf itu. Dua huruf yang papan tulis di kelas bersaksi bahwa menghafalnya adalah tak penting, tapi tak memahaminya adalah kegagalan tak tertanggung. Dua huruf yang menjadi penguasa seluruh perusahaan farmasi Indonesia. Dua huruf yang, ah.. sudahlah, kau pasti tau kitab suci itu: Farmakope Indonesia. Rasanya Bandung gempa, aku sampai menahan nafas mengetikkan dua huruf itu.
Karena baru kusadari, akulah sang dua huruf itu. Lihatlah kawan, benar-benar dua huruf: FI. Sekali lagi ia adalah F dan I. Fakhria Itmainati. Aku lupa siapa yang terlahir duluan, dua huruf itu atau aku, tapi kujamin bahwa Continue reading